Posted by : ririn dwi
Sabtu, 10 Desember 2016
Judul: Negeri 5 Menara
Pengarang: A. Fuadi
Bahasa: Indonesia
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Tahun 2009
Jumlah Halaman: XII + 423 halaman
ISBN: 978-979-22-4861-6
Kota Terbit: Jakarta
Novel berjudul Negeri 5 Menara karangan A. Fuadi merupakan Novel pertama
dari trilogi negeri 5 menara. Trilogi Negeri 5 Menara terdiri atas 3 novel
diantaranya yakni Negeri 5 Menara, Rantau 1 Muara, dan ranah 3 Warna. Negeri 5
Menara merupakan karya fiksi berbentuk novel yang mengisahkan tentang kisah
seorang anak laki-laki yang merantau dari Sumatera Barat di daerah Danau
Maninjau menuju Ponorogo Jawa Timur. Perantauan ini bermula ketika usulan amak
(ibu Alif) yang berkeinginan kuat agar alif meneruskan pendidikannya di pondok
Pesantren Madani di Jawa Timur. Keinginan amak ini bertentangan dengan
keinginan Alif yang memiliki cita-cita berkuliah di ITB. Jika ingin berkuliah
di perguruan tinggi negeri ternama, ia harus menempuh pendidikan menengahhnya
di SMA. Menurut Alif, jika ia meneruskan pendidikannya di pondok pesantren,
maka cita-citanya menjadi seperti mantan presiden B.J. Habibie akan sirna.
Memang demikian jika keinginan amak dan Alif bertentangan. Amak begitu
menginginkan anaknya menjadi Ulama seperti bunya HAMKA, sedangkan Alif ingin
menjadi ilmuan seperti Habibie. Alif menolak keinginan amak dengan tegas. Namun
dengan bujukan ayah, akhirnya Alif pun luluh dan mengikuti kemauan amak dengan
setengah hati
Keberangkatan Alif menuju Pondok Pesantren Madani di Jawa Timur ditemani
oleh ayahnya. Sepanjang perjalanan Alif berpikir seperti apa jika ia menjalani
sesuatu yang bukanlah keinginannya. Sesampainya di Pondok Madani , Alif
terkejut dengan segala peraturan dan kegiatan di Pondok. Semua tertata dengan rapi
dan penuh dengan kedisiplinan.Di sana Alif menemui teman-teman yang berasal
dari berbagai kalangan dan etnis. Alif semakin mengagumi sistem pendidikan di
Pondok tersebut. Namun dalam hati kecilnya, ia belum mampu mengubur
keinginannya untuk melanjutkan pendidikannya di SMA dan meneruskannya ke ITB
Bandung.
Dalam perjalanan hidup Alif di Pondok Madani, terdapat beberapa orang
sahabat yang membersamainya. Mereka adalah Raja Lubis dari Medan Sumatera
Barat, Dulmajid dari Sumenep, Madura, Baso Salahudin dari Gowa, Sulawesi, Atang
Yunus dari Bandung, Jawa Barat, dan Said Jufri dari Surabaya, Jawa Timur. Dalam
keseharian Alif, ditemani oleh sahabat-sahabat yang amat menyayanginya. Suatu
ketika mereka duduk-duduk santai di bawah menara besar dekat komplek masjid.
Tanpa sadar mereka memandangi awan sejak tadi, dan awan-awan itu membentuk
sebuah pola Negara berdasarkan perspektif mereka masing-masing. Berdasarkan
perspektif itulah mereka berkeinginan kuat untuk menuju tempat itu. Atang
berkeinginan untuk pergi ke Mesir, Raja ingin ke London, Alif ingin ke Amerika
dan Said, Dulmajid, serta Baso ingin tetap di Indonesia. Mereka sering sekali
duduk-duduk di bawah menara besar masjid Madani, karena begitu seringnya mereka
melakukan aktivitas di bawah menara maka mereka dijuluki dengan sebutan sohibul
Menara, yang berarti “yang punya menara.”
Pada suatu ketika menginjak tahun kedua kebersamaan 5 sahabat menara,
tiba-tiba Baso Salahudin memutuskan untuk pergi dan pulang ke kampong
halamannya di Gowa. Alasan kepulangannya ialah karena pertimbangan ekonomi dan
neneknya yang tinggal sendiri di Gowa. Ia harus mengurus neneknya yang sedang
sakit. Alasan mengapa selama setahun ini tak ada seorangpun yang menengok Baso
di Pondok Madani ialah karena Baso sudaj tidak memiliki orang tua kandung. Ia
hanya hidup sebatang kara bersama neneknya. Atang, alif, Said, dan Dulmajid
kaget mendengar hal ini. Mereka sama sekali tidak tahu kalau Baso tidak
memiliki orang tua. Alasan mengapa Baso terobsesi dengan hafalan 30 Juz nya
tidak lain adalah karena ia menginginkan jubah kemuliaan disematkan oleh Allah
kepada orang tuanya yang sudah tiada. Sohibul menara berpelukan menahan haru
yang luar biasa dan tak kuasa menahan tangis karena perpisahan yang begitu
mengejutkan.
Kelebihan yang terdapat dalam novel ini terletak pada gaya bahasa
pengarang yang lugas dan menarik. Mengingat latar belakang pengarang yang
seorang jurnalis, maka tidak mengherankan jika penggambaran cerita dilakukan
dengan cara yang sangat baik. Penulis menggambarkan tentang aspek kultural di
pondok pesantren yang kental dengan nilai-nilai religious dan menepis anggapan
bahwa santri hanya bisa mengaji dan ceramah. Banyak hal yang bisa didapatkan
dari belajar di pondok pesantren. Kisah dalam novel ini terinspirasi dari
pengalaman pribadi penulis yang dituangkan pada tokoh Alif fikri yang semula
begitu terpaksa belajar di pondok pesantren namun pada akhirnya ia merasakan
banyak manfaat yang didapatkannya.
Kekurangan pada novel ini terletak pada konflik cerita yang hanya
ditonjolkan pada pertentangan batin Alif Fikri. Konfliknya hanya terletak pada
rasa terpaksanya alif yang mengikuti kemauan amaknya untuk melanjutkan
pendidikan di pondok pesantren. Sedangkan ia berkeinginan melanjutkan ke SMA.
Dinamika pada novel ini terasa sangat datar , pembaca seperti melihat catatan
harian yang dikemas menjadi karya fiksi.
Novel negeri 5 Menara merupakan cerminan dari aktivitas kehidupan
sehari-hari para santri pondok pesantren. Tentu hal-hal positif terutama aspek
religius dapat diambil dalam buku ini. Buku ini layak dibaca oleh para
akademisi, orang tua, pelajar, dan para pengasuh pondok pesantren serta para
santri tentunya.